LIP Service di Dalam Tubuh (Tanda dan Simbol DPRD Bolsel)
Pada tanggal 15 Januari 2025, DPRD Bolsel menunjukkan respons yang cukup meyakinkan. Mereka bersuara lantang, menyatakan komitmen bersama dengan Aliansi Pergerakan Rakyat Tolak PETI. Suara itu menggema, seolah menjadi angin segar bagi masyarakat yang telah lama menanti tindakan nyata. Pernyataan mereka terdengar penuh keyakinan, menjanjikan tindak lanjut yang segera dan tegas. Namun, janji itu tampaknya hanya berhenti di bibir.
Lip Service, atau janji manis tanpa realisasi, bukanlah fenomena baru dalam dunia politik. Namun, ketika fenomena ini merasuki tubuh DPRD, yang seharusnya menjadi benteng terakhir harapan rakyat, maka dampaknya sangat merusak. Aktivitas PETI di Tobayagan menjadi cermin betapa kuatnya pengaruh lip service ini. Dua pekan berlalu sejak komitmen itu diumumkan, tetapi tidak ada langkah-langkah strategis atau upaya serius yang terlihat.
Alih-alih menjadi pelindung masyarakat, DPRD Bolsel tampak terperangkap dalam siklus omong-omongan tanpa aksi. Ini bukan sekadar soal ketidakmampuan, tetapi mencerminkan krisis integritas dan komitmen terhadap mandat rakyat. Masyarakat Tobayagan, yang setiap hari harus menghadapi dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas PETI, merasa dikhianati oleh para wakil yang mereka pilih.
Sebagai lembaga legislatif, DPRD memiliki fungsi utama: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Dalam konteks PETI di Tobayagan, fungsi pengawasan menjadi kunci. DPRD seharusnya memastikan bahwa setiap kebijakan pemerintah daerah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Namun, apa yang terjadi? Pengawasan hanya menjadi formalitas tanpa substansi.
Ketidakseriusan DPRD Bolsel bukan hanya soal abainya mereka terhadap tuntutan masyarakat, tetapi juga kegagalan mereka menjalankan peran konstitusional. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap mandat rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama. DPRD yang seharusnya menjadi garda terdepan justru menjadi penonton pasif dalam drama panjang pelanggaran lingkungan di Tobayagan.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana simbolisme politik sering kali hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan tanpa esensi. DPRD Bolsel dengan segala atributnya—rapat-rapat resmi, pernyataan publik, dan komitmen tertulis—hanya menjadi simbol tanpa substansi. Tindakan mereka yang tidak sejalan dengan kata-kata menunjukkan bahwa simbol tersebut kosong, tanpa makna sejati.
Simbolisme kosong ini berbahaya. Ia menciptakan ilusi bahwa sesuatu sedang dilakukan, padahal tidak ada perubahan nyata. Masyarakat dibiarkan berharap pada janji-janji yang tak pernah ditepati, sementara kerusakan lingkungan terus menanti. Ini adalah bentuk pengkhianatan yang halus, tetapi sangat merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Ketika DPRD Bolsel gagal memenuhi komitmennya, dampak terbesarnya adalah hilangnya kepercayaan publik. Kepercayaan adalah fondasi utama dalam hubungan antara rakyat dan wakilnya. Tanpa kepercayaan, legitimasi politik runtuh. Masyarakat Tobayagan, yang telah berulang kali mengajukan tuntutan, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: suara mereka selalu tidak di dengar, atau lebih buruk lagi, sengaja diabaikan.
Krisis kepercayaan ini bukan hanya masalah Tobayagan atau Bolsel semata. Ini adalah cermin dari problematika politik lokal di banyak daerah. Ketidakmampuan atau ketidakmauan DPRD untuk bertindak tegas terhadap isu-isu krusial menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem politik kita.
Lip service dalam tubuh DPRD Bolsel bukan sekadar cermin dari krisis politik lokal, tetapi juga panggilan untuk perubahan. Masyarakat Tobayagan dan semua yang peduli terhadap keadilan lingkungan menunggu, bukan untuk mendengar janji baru, tetapi untuk melihat tindakan nyata. Karena pada akhirnya, suara rakyat bukan sekedar untuk di simpan, tetapi untuk diperjuangkan.***
Penulis: Dandy Mantali
Posting Komentar untuk "LIP Service di Dalam Tubuh (Tanda dan Simbol DPRD Bolsel)"